Latar Belakang
Kewirausahaan
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah
kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya
untuk mencari peluang menuju sukses. Sesuatu yang baru dan berbeda adalah nilai
tambah barang dan jasa yang menjadi sumber keuanggulan untuk dijadikan peluang.
Jadi, kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di
pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda.
Di Indonesia, kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau
perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan tantangan
seperti adanya krisis ekonomi, pemahaman kewirausahaan baik melalui pendidikan
formal maupun pelatihan-pelatihan di segala lapisan masyarakat kewirausahaan
menjadi berkembang. Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut
wirausahawan. Muncul pertanyaan mengapa seorang wirausahawan (entrepreneur)
mempunyai cara berpikir yang berbeda dari manusia pada umumnya. Mereka
mempunyai motivasi, panggilan jiwa, persepsi dan emosi yang sangat terkait
dengan nilai nilai, sikap dan perilaku sebagai manusia unggul.
Pengertian
Kewirausahaan
Kewirausahaan berasal dari kata wira
dan usaha. Wira berarti : pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi
luhur, gagah berani dan berwatak agung. Usaha, berarti perbuatan amal, bekerja,
berbuat sesuatu. Jadi wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu.
Ini baru dari segi etimologi (asal usul kata). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, wirausaha adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk
baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk mengadakan produk
baru, mengatur permodalan operasinya serta memasarkannya. Dalam lampiran
Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusahan Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995,
dicantumkan bahwa:
1) Wirausaha adalah orang yang mempunyai
semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan;
2) Kewirausahaan adalah semangat, sikap,
perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah
pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara kerja, teknologi dan
produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan
yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Kewirausahaan dalam arti proses yang dinamis adalah
kewirausahaan merupakan sebuah proses mengkreasikan dengan menambahkan nilai
sesuatu yang dicapai melalui usaha keras dan waktu yang tepat dengan
memperkirakan dana pendukung, fisik, dan resiko sosial, dan akan menerima
reward yang berupa keuangan dan kepuasan serta kemandirian personal. Melalui
pengertian tersebut terdapat empat hal yang dimiliki oleh seorang wirausahawan
yakni:
1) Proses berkreasi yakni mengkreasikan
sesuatu yang baru dengan menambahkan nilainya. Pertambahan nilai ini tidak
hanya diakui oleh wirausahawan semata namun juga audiens yang akan menggunakan hasil
kreasi tersebut;
2) Komitmen yang tinggi terhadap
penggunaan waktu dan usaha yang diberikan. Semakin besar fokus dan perhatian
yang diberikan dalam usaha ini maka akan mendukung proses kreasi yang akan
timbul dalam kewirausahaan;
3) Memperkirakan resiko yang mungkin
timbul. Dalam hal ini resiko yang mungkin terjadi berkisar pada resiko
keuangan, fisik dan resiko sosial;
4) Memperoleh reward. Dalam hal ini reward
yang terpenting adalah independensi atau kebebasan yang diikuti dengan kepuasan
pribadi. Sedangkan reward berupa uang biasanya dianggap sebagai suatu wbentuk
derajat kesuksesan usahanya.
Tujuan
Kewirausahaan
1) Miningkatkan jumlah dan menghasilkan para
wirausahawan yang berkualitas, sehingga dapat memperbanyak lapangan pekerjaan
dan mengurangi pengangguran;
2) Untuk meningkatkan kesadaran dan
orientasi kewirausahaan yang tangguh dan kuat;
3) Meningkatkan kemampuan dan keahlian
para wirausaha untuk memajukan dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat
sekitar;
4) Membudayakan semangat, sikap, perilaku
dan kemampuan kewirausahaan dikalangan masyarakat.
Sasaran
kewirausahaan
1) Instansi pemerintah dengan kegiatan
usaha BUMN, organisasi profesi dan kelompok masyarakat;
2) Perilaku ekonomi : terdiri dari
pengusaha kecil dan operasi;
3) Generasi muda, anak-anak putus sekolah
dan calon wirausahawan.
Asas
Kewirausahaan
1) Dapat memecahkan masalah dengan cepat
dan tepat, mengambil keputusan secara sistematis, termasuk memiliki keberanian
dalam mengambil risiko;
2) Memiliki kemampuan bekerja secara
tekun, teliti dan produktif;
3) Memiliki kemampuan berkarya dengan
semangat kemandirian;
4) Memiliki kemampuan untuk berkarya
didalam kebersamaan dengan etika bisnis yang sehat.
Sejarah
perkembangan kewirausahaan di Indonesia
Pada dasarnya seorang wirausaha atau
wiraswasta harus mampu melihat suatu peluang dan memanfaatkannya untuk mencapai
keuntungan atau manfaat bagi dirinya dan dunia sekelilingnya serta kelanjutan
usahanya. Mereka harus mampu mengambil risiko dengan mengadakan pembaruan (innovation). Wirausaha harus pandai
melihat ke depan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman di waktu yang
lampau, ditambah dengan kemampuan menerima serta memanfaatkan realitas yang ada
di sekelilingnya. Realitas ini bukan saja di bidang ekonomi, akan tetapi
mencangkup juga bidang sosial, pendidikan, bahkan agama. Mereka harus mampu
mengoordinasi dan mendayagunakan kekuatan modal, teknologi, dan tenaga ahli
untuk mencapai tujuan secara harmonis. Singkatnya, mereka harus seorang manajer dan menggunakan
manajemen untuk mencapai tujuan. Secara terperinci yang menjadi dorongan ke
wirausahaan yaitu:
1. Kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang
lebih baik (berprestasi);
2. Kebutuhan akan ketidaktergantungan
atau kebebasan;
3. Kebutuhan akan pembaruan;
4. Mencapai tingkat pendapatan yang
lebih baik;
5. Kemampuan menyekolahkan anak dan menyejahterakan
keluarga.
Dari ciri-ciri tersebut dapat kita
uji seberapa jauh hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai sosial yang berlaku
di Indonesia. Pada umumnya, fakor penghambat atau pendorong, pertumbuhan
wirausaha biasanya dibagi tiga kategori besar, yaitu:
1. Ukuran nilai sosiokultur yang berlaku
di masyarakat. Ukuran baik dan buruk di masyarakat;
2. Kehidupan ekonomi seperti kebijakan
pemerintah, praktik bisnis, struktur pasar;
3. Keadaan dunia pendidikan.
Kalau ketiga kategori di atas kita
tinjau secara terperinci maka dalam praktik terdapat situasi yang cenderung kearah
hambatan ketimbang dorongan. Coba bayangkan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat tradisional, kita ambil contoh di Jawa. Pada umumnya masyarakat
tidak begitu merestui ciri-ciri kewirausahaan seperti di atas. Masyarakat pada
umumnya masih bersifat homogen dan tergantung pada orang tua, keluarga dan
kampong halaman. Masyarakat kurang atau tidak merestui orang yang suka
menonjol, ambisius, dan individualis, seperti pengusaha. Sikap musyawarah yang
berlebihan dan tatanan adat yang ketat mengutamakan mereka yang dituakan, namun
pengusaha kurang mendapat kedudukan terhormat di masyarakat.
Sikap dan nilai tersebut terlihat
lebih nyata lagi dimana orang tua tidak
begitu merestui anaknya memasuki dunia dagang. Berdagang di anggap erat
hubungannya dengan tipu-menipu, mau menang sendiri, dan lain sebagainya. Hampir
semua keluarga menghendaki atau bercita-cita agar anaknya masuk perguruan
tinggi kemudian bertitel, jadi pamong, dan berpangkat. Jarang anak terpintar
dari satu keluarga didorong untuk memasuki pendidikan kejuruan yang mengarah
dunia usaha seperti SMEA, dan STM. Bahkan mereka yang menjadi pengusaha pun
berbuat demikian, artinya mereka tidak mendorong anaknya masuk sekolah yang
menjurus keduania usaha seperti SMEA dan Akademi Perusahaan. Mereka yang kurang
mampu juga kurang berminat menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan.
Dari segi kehidupan ekomomi keadaan di
Indonesia hingga 1945 kurang menguntungkan karena :
1. Monopoli kekuasaan di perusahaan
Belanda;
2. Kedudukan istimewa keturunan cina di
dunia usaha;
3. Luas pasar yang terbatas;
4. Kurangnya komunikasi;
5. Kebijakan penjajah belanda yang tidak
mendorong lahirnya perundang-undangan dan ketentuan yang memberi dorongan
munculnya para pengusaha dan wirausaha dikalangan rakyat Indonesia.
Dari sejarah, kita mencatat lahirnya
Serikat Islam yang asal-usulnya ditujukan untuk mendobrak monopoli terutama di
dunia perdagangan. Setelah kemerdekaan pemerintah RI menyadari bahwa dalam
mengisi kemerdekaan harus juga ditopang dengan perkembangan dunia usaha yang
dikelola oleh orang Indonesia sendiri. Dalam mewujudkan hal ini hingga 1965
kita amati adanya usaha pemerintah mendorong tumbuhnya pengusaha Indonesia
terutama dikalangan pribumi lewat :
1. Pengeluaran lisensi istimewa;
2. Memberi kemudahan mendirikan
perusahaan, mendapat izin impor-ekspor dan lain-lain;
3. Kemudahan mendapat kredit;
4. Propaganda pembentukan koperasi,
dekret ekonomi, dan pembuatan beberapa peraturan atau undang-undang untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional;
5. Pendirian dan pembukaan sekolah
kejuruan dan kursus dibidang usaha sebagai sarana penunjang;
6. Membuka atas ekonomi perdagangan di
pusat-pusat perdagangan dunia.
Dari sekian banyak usaha di atas
ternyata tidak semuanya berhasil. Hal tersebut Disebabkan:
1. Kurangnya kesadaran dan dukungan
masyarakat;
2. Kurangnya pengalaman pemerintah dan
masyarakat;
3. Keadaan politik dan pembinaan bangsa,
karena adanya pemberontakan dan ketidakstabilan politik. Hampir semua dana dan
kemampuan (fund and force) pemerintah
periode 1945-1965 ditujukan untuk membina dan menjaga kesatuan persatuan
bangsa.
Setelah 1996, terjadi perubahan strategi pokok
pembangunan di Indonesia. Setelah menyelesaikan gemelut Gestapu, pemerintah
bertekad membina kehidupan ekonomi yang baru sebagai sebagai sarana mengisi kemerdekaan
dalam mewujudkan cita-cita negara Pancasila yang adil dan makmur. Orde Baru,
menggariskan kebijakan ekonomi yang baru lewat perencanaan nasional, dengan
mendirikan Badan Perencanaan. Pembangunan Nasional (Bappenas). Upaya berencana
sejak 1967 tercermin dengan pemberian prioritas tertinggi pada pembangunan di
bidang ekonomi dalam Garis Besar Haluan Negara dan rencana pembangunan lima tahun
(GBHN & Repelita). Saluran ekonomi dibuka lebar--lebar baik lewat
Undang-Undang Perindustrian dan lain-lain. Hal itu diikuti pula dengan
pengaktifan Kadin (Kamar Dagang Indonesia), pemberian KIK (Kredit Industri
Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen), Keppres No. 14, 1971 & KUD
(Koperasi Unit Desa), serta fasilitas lainnya. Demikian juga, dengan pembaruan
perundang-undangan di bidang Perseroan Terbatas (UU, No. 1/1995) serta
diratifikasinya Organisasi Perdagangan Dunia (GATT & WTO) yang mulai
berlaku 1 Januari 1995. Indonesia juga menyetujui perdagangan bebas ASEAN
(AFTA) yang mulai efektif pada 2003 serta masuknya Indonesia dalam kerja sama
ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang mulai efektif pada 2020. Namun demikian,
karena kurangnya pengalaman baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat, maka
cita-cita menumbuhkan wirausaha secepatnya tetap masih belum memuaskan.
Di bidang pendidikan persoalannya ternyata
lebih rumit dan jelimet serta menjadi untaian mata rantai yang paling lemah
dalam pembinaan dan pertumbuhan dunia wirausaha di Indonesia selama ini. Di
zaman penjajahan hampir tidak ada sekolah atau perguruan tinggi yang mendorong
timbulnya wirausaha. Setelah kemerdekaan, sekolah kejuruan baru seperti STM,
SMEA, sekolah kejuruan lain dan beberapa Akademi dibangun, tetapi kurang
berhasil karena kekurangan guru, siswa yang berbakat, pengalaman berikut
hambatan struktur nilai di masyarakat, maupun karena peraturan atau ketentuan
pemerintah yang simpang siur.
Kelemahan dunia pendidikan ini lebih terasa lagi
dengan belum adanya pola kurikulum yang jelas dan pengarahan terhadap mereka
yang lulus sekolah kejuruan. Alasan kekurangan guru, minat masyarakat, dan
pengalaman juga ikut menghambat. Hal ini berbeda dengan kenyataan yang ditemui
di Jerman Barat, Belanda, Jepang, dan negara kapitalis lainnya dari dahulu
hingga sekarang. Di negara-negara maju ini peranan dan proporsi sekolah
kejuruan sangat dominan dan meliputi hampir 60% dari jumlah sekolah yang ada.
Di samping hambatan struktural di atas,
kita juga menemukan adanya hambatan sistem sosial yang dapat dikategorikan
dalam hambatan budaya seperti:
- Anggapan masyarakat yang rendah terhadap kegiatan dunia usaha.
- Sikap yang kompromistis dan kurang ambisius serta senang tergantung.
- Keluarga besar kerabat besar.
- Tidak berani mengambil risiko dan lebih suka akan hasil cepat.
- Nepotisme (mendahulukan perusahaan keluarga).
- Feodalisme dan semangat priayi.
Hambatan tersebut bercampur aduk dengan
larangan dan batasan dari bidang agama tertentu yang tidak begitu merestui
dunia usaha dan kesimpangsiuran tentang tafsir laba dan riba. Memang dala
praktiknya kalau kita bertanya kepada para pengusaha, mereka tidak mau mengakui
kelemahan di atas dan akan selalu mengatakan alasan klasik bahwa tidak
berkembangnya usaha mereka adalah karena:
- Kurang modal.
- Kurang bimbingan pemerintah.
- Dominasi orang Cina.
- Dominasi konglomerat.
- Dominasi modal kuat, dan dominasi modal asing.
Padahal, kalau kita teliti lebih
mendalam, alasan utama kegagalan mereka ialah terutama karena kurangnya pengalaman,
latar belakang pendidikan yang tak memadai, hambatan nilai di masyarakat, dan
struktur ekonomi yang belum cocok dengan kondisi dunia modern.
Pandangan Ahli Ekonomi
Wirausaha adalah seseorang atau
kelompok orang yang mengkombinasikan faktor-faktor produksi seperti sumber daya
alam, tenaga kerja, material, modal dan keahlian untuk tujuan memproduksi
barang dan jasa.
Pandangan Ahli Manajemen
Wirausaha adalah seseorang yang
memiliki kombinasi unsur-unsur internal yang meliputi motivasi, visi, komunikasi,
optimisme, dorongan, semangat dan kemampuan memanfaatkan peluang usaha.
Pandangan Pelaku Bisnis
Wirausaha adalah pelopor dalam
bisnis, innovator, penanggung risiko yang mempunyai visi kedepan dan memiliki
keunggulan dalam prestasi dibidang usaha.
0 Response to "Kewirausahaan Part 1"
Post a Comment