Latar
belakang
Aktivitas usaha yang kini marak dilakukan oleh pelaku
usaha tidak luput dari adanya persaingan. Persaingan itu terkadang mengarah
pada pelanggaran hukum demi terciptanya keuntungan yang maksimum. Bahkan mereka
melakukan persaingan curang/ persaingan tidak sehat.
Dunia usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan
tidak dapat berdiri sendiri. Banyak aspek dari berbagai macam dunia lainnya
turut terlibat langsung maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini.
Keterkaitan tersebut kadang tidak memberikan prioritas atas dunia usaha, yang
pada akhirnya membuat dunia usaha harus tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang
ada dan seringkali bahkan mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan
aturan-aturan yang telah ada. Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya
tidak diimbangi dengan “penciptaan” rambu-rambu pengawas. Apabila hukum tidak
ingin dikatakan tertingggal dari perkembangan bisnis dan dunia usaha, maka
hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia usaha yang
melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu berarti, peran
hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema dunia usaha
yang timbul seperti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pengertian
monopoli
Monopoli murni adalah bentuk
organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi yang
tidak mempunyai substitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus merupakan
industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki kemiringan
negatif untuk komoditi itu. “Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan
istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat eropa
yang artinya juga sepadan dengan arti istilah “monopoli”. Disamping itu
terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Menurut UU No.5/1999
tentang praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaran atas barang
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Undang-undang anti monopoli No.5/1999 memberi arti
kepada monopolis sebagai suatu penguasaaan atas produksi dan atau pemasaran
barang atau pengunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha (pasal 1 ayat (1) undang-undang anti monopoli).
Anti
monopoli
Pengertian monopoli dalam Black’s Law Dictionary, “Monopoly is a privilege or peculiar
advantage vested in one or more persons or companies, consisting in
theexclusive right (or power) to carry on a particular business or trade,
manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a
particular commodity. (Henry Champbell Black,1990 : 696).
Secara etomologi, kata
“monopoli” berasal dari kata yunani “monos” yang berarti sendiri dan “polein”
yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas
memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual
yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.
Istilah-istilah yang telah
dikemukakan dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan yang dimana seseorang
menguasai pasar, dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi
yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk
menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum
persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar. Sementara
yang dimaksud dengan “praktik monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi
oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu
persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Sesuai dalam pasal 1 ayat (2) undang-undang anti monopoli.
Pengertian hukum persaingan
usaha dan kebijakan persaingan usaha
Menurut Arie Siswanto,
dalam bukunya yang berjudul “hukum
persaingan usaha” yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition
law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana hukum itu harus
dilakukan. Sedangkan menurut Kamus
Lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christopher Pass dan Bryan Lower, yang
dimaksud dengan competition laws adalah bagian dari perundang-undangan yang
mengatur tentang monopoli, penggabungan dan pengambil alihan, perjanjian dagang
yang membatasi dan praktik anti persaingan. Dalam Kamus Lengkap Ekonomi juga
menjelaskan yang dimaksud dengan kebijakan persaingan adalah kebijakan yang
berkaitan dengan peningkatan efisiensi pemakaian sumber daya dan perlindungan
kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan adalah untuk menjamin
terlaksananya pasar secara optimal.
Persaingan
usaha
Persaingan atau
“competition” dalam bahasa inggris oleh Webster didefinisikan sebagai : “…… A
struggle or contest between two or more persons for the same objects”. Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat
unsur-unsur sebagai berikut;
a) Ada dua pihak atau lebih yang
terlibat dalam upaya saling mengungguli,
b) Ada kehendak diantara mereka untuk
mencapai tujuan yang sama.
Persaingan antara pelaku usaha salah satunya adalah persaingan dalam
merebut pasar dan mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Persaingan
sebenarnya merupakan kondisi ideal yang memiliki banyak aspek positif. Meskipun
demikian, persaingan akan berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya apabila
tidak terjadi perbuatan curang yang justru merugikan dan menimbulkan aspek
negatif.
Persaingan
usaha tidak sehat
Menurut rumusan pasal 1
ayat 6 undang-undang antimonopoly, yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak
sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dalam blacks law
dictionary, persaingan usaha tidak sehat diartikan sebagai berikut:
“A term which be applied generally to
all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, the practice of
endeavoring to substitute one’s own goods or product in the market for those of
another by means of imitating or counterfeiting the name, brand, size, shape,
or other distinctive characteristic of the article or of packaging”
Menurut sistematik pasal
1 ayat 6 UU No.5/1999 tentang persaingan usaha tidak sehat ditandai 3
alternative kriteria, yaitu : persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak
jujur, melawan hukum, dan menghambat persaingan usaha. Tindakan persaingan
usaha tidak sehat sebenarnya dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu tindakan
anti persaingan (anti competition) dan tindakan persaingan curang (unfair
compotition practice). Tindakan anti persaingan adalah tindakan yang bersifat
mencegah terjadinya persaingan dan dengan demikian mengarah pada terciptanya
kondisi tanpa atau minim persaingan, sedangkan persaingan curang adalah
tindakan tidak jujur yang dilakukan dalam kondisi persaingan.
Asas dan
tujuan anti monopoli dan persaingan usaha
1.
Asas
Pelaku usaha di Indonesia
dalam menjalankan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
2. Tujuan
Undang-undang
persaingan usaha adalah undang-undang No.5/1999 tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No.5/1999). Tujuan yang terkandung
dalam UU No.5/1999, adalah sebagai berikut :
a) Menjaga kepentingan umum dan menjaga
efisiensi ekonomi nasional sebgai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahtraan rakyat.
b) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil.
c) Mencegah praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d) Terciptanya efektivitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha.
Ruang
lingkup hukum anti monopoli
Berdasarkan UU No.5/1999, maka ruang lingkup anti monopoli adalah sebagai
berikut :
a) Perjanjian yang dilarang sebagaimana
yang dimaksud dalam UU No.5/1999
mencakup oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan,
kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan
perjanjian dengan pihak luar negri.
b) Kegiatan yang dilarang. Sebagaimana
dimaksud dalam UU No.5/1999 mencakup monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan
persekongkolan.
c) Penyalahgunaan posisi dominan,
mencakup jabatan rangkap, kepemilikan saham dan merger, akuisisi, dan
konsilidasi.
d) Komisi pengawas persaingan usaha
e) Tata cara penanganan perkara
f) Sanksi-sanksi
g) Perkecualian-perkecualian.
Perjanjian
yang dilarang
Oligopoly: keadaan pasar dengan produsen dan pembeli
barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat
mempengaruhi harga pasar. Contoh : produksi mie instan yang dipasarkan di
Indonesia, 75% berasal dari kelompok pelaku usaha a, b, dan c. ini berarti
keterkaitan pelaku usaha a, b, dan c itu sudah oligopoly.
Penetapan harga (price
Fixing). Perjanjian diantara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, sehingga
terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur harga. Hal ini bisa juga disebut
kartel harga. Contoh : beberapa perusahaan taksi sepakat bersama-sama menaikan
tarif. Catatan : penetapan harga adalah salah satu bentuk perjanjian pengaturan
harga. Diluar itu ada bentuk perjanjian price discrimination (diskriminasi
terhadap pesaing), predatory pricing (banting harga), dan resale price
maintenance (mengatur harga jual kembali atas suatu produk). Dalam rangka
penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian antara lain:
a) Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan jasa yang harus dibayar oleh
konsumen pada pasar bersangkutan yang sama.
b) Perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama.
c) Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar.
d) Perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari
pada harga yang telah dijanjikan.
e) Pembagian wilayah : pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan jasa.
Beberapa
pengertian
1. Kartel : perjanjian di antara pelaku
usaha yang seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk
mengatur kuota produksi, dan alokasi pasar. Kartel juga bisa pemboikotan :
perjanjian diantara beberapa pelaku usaha untuk menghalangi masuknya pelaku usaha
baru (entry barrier), membatasi ruang gerak pelaku usaha lain untuk menjual
atau membeli suatu produk.
2. Trust : perjanjian kerja sama di
antara pelaku usaha dengan cara menggabungkan diri menjadi perseroan lebih
besar, tetapi eksistensi perusahaan masing-masing tetap ada.
3. Oligopsoni : keadaan dimana dua atau
lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
4. Integrasi vertical (vertical
integration) : perjanjian di antara perusahaan-perusahaan yang berada dalam
suatu rangkaian jenjang produksi barang tertentu, namun semuanya berbeda dalam
kontrol satu tangan (satu afiliasi), untuk secara bersama-sama memenangkan
persaingan secara tidak sehat.
5. Perjanjian tertutup (exclusive dealing)
: perjanjian diantara pemasok dan penjual produk untuk memastikan pelaku usaha
lainnya tidak diberi akses memperoleh pasokan yang sama atau barang itu tidak
terjual ke pihak tertentu.
6. Perjanjian dengan pihak luar negri :
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negri yang memuat
kekuatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat.
Kegiatan
yang dilarang
a) Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi atau
pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku.
b) Monopsoni
Kegiatan menguasai atas penerimaan
pasokan barang/ jasa dalam suatu pasar oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha tertentu.
c) Penguasaan pasar
Didalam UU No.5/1999 pasal 19, bahwa
kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat yaitu :
-
Menolak
atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama
pada pasar yang bersangkutan.
-
Menghalangi
konsumen atau pelanggaran pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.
-
Membatasi
peredaran atau penjualan barang atau jasa pada pasar bersangkutan.
-
Melakukanpraktik
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d) Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
(pasal 1 ayat 8 UU No.5/1999), dalam bentuk :
-
Persekongkolan
untuk memenangkan tender.
-
Persekongkolan
mencuri rahasia perusahaan saingan.
-
Persekongkolan
merusak kualitas/ citra produk saingan.
e) Posisis dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat,
dalam pasal 1 ayat 4 UU No.5/1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu
keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti dipasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pasar yang dikuasai atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dipasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa.
f) Jabatan rangkap
Dalam pasal 26 UU No.5/1999 dikatakan
bahwa seseorang yang menduduki jabaan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau
komisaris pada perusahaan lain.
g) Pemilikan saham
Berdasarkan pasal 27 UU No.5/1999
dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa
perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada saat
yang bersangkutan mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
h) Penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan
Pasal 28 UU No.5/1999, mengatakan
bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang
menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari
keuntungan.
Komisi
pengawasan persaingan usaha
Komisi pengawas persaingan usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen
di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat UU No.5/1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga
hal pada UU tersebut, yaitu :
1) Perjanjian yang dilarang
2) Kegiatan yang dilarang
3) Posisi dominan
Dalam pembuktian KPPU menggunakan unsur pembuktian per se-illegal, yaitu
sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason yang
selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang
ditimbulkan. Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut dimasyarakat :
-
Konsumen
tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker.
-
Keragaman
produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan.
-
Efisiensi
alokasi sumber daya alam.
-
Konsumen
tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
ditemui dipasar monopoli.
-
Kebutuhan
konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan
layanannya.
-
Menjadikan
harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
-
Membuka
pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
-
Menciptakan
inovasi dalam perusahaan.
Tugas dan
wewenang KPPU
Pasal 35 UU antimonopoly menentukan bahwa tugas-tugas KPPU adalah sebagai
berikut :
-
Melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
-
Melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan tidak sehat.
-
Melakukan
penilaian terhadap atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha.
-
Memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
praktik monopoli atau persaingan tidak sehat.
-
Menyusun
pedoman atau publikasi yang berkaitan dengan UU No.5 tahun 1997.
-
Memberikan
laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan DPR.
-
Mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU antimonopoli.
Melalui pasal 36 UU antimonopoli, KPPU diberikan wewenang untuk melakukan
hal-hal sebagai berikut :
-
Menerima
laporan dari masyarakat atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
-
Melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.
-
Melakukan
penyelidikan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli atau
persaingan tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku usaha atau
yang ditemukan sebagai komisi hasil penelitiannya.
-
Menyimpulkan
hasil penyelidikan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
-
Memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU
antimonopoli.
-
Memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran ketentuan UU antimonopoli.
-
Meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap
orang yang dimaksud dalam poin 5 dan 6 di atas yang tidak bersedia memenuhi
panggilan komisi 8.
-
Meminta
keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan atau
pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU antimonopoli.
Jadi KPPU berwenang dalam melakukan penelitian, penyelidikan
dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar UU
antimonopoli atau tidak. Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap putusan
KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14 hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut untuk mengajukan keberatan ke pengadilan negri.
KPPU merupakan lembaga administratif, sebagai lembaga administratif KPPU
bertindak untuk kepentingan umum. KPPU berbeda dengan pengadilan perdata yang
menangani hak-hak subjektif perorangan, oleh karena itu KPPU harus mementingkan
kepentingan umum dibanding kepentingan perorangan dalam menangani dugaan
pelanggaran hukum antimonopoli. Hal ini sesuai dengan tujuan UU antimonopoli
yang tercantum dalam pasal 3 huruf “a” UU antimonopoli, yakni “menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk mensejahtrakan”.
UU No.5/1999 juga mengatur tentang sanksi, ada tiga
sanksi yang diintroduksi dalam UU ini yaitu tindakan administratif, pidana
pokok, dan pidana tambahan. KPPU hanya berwenang memberikan sanksi tindakan administratif,
sementara pidana pokok dan pidanan tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain. Dalam
hal ini peradilan yang dimaksud dengan tindakan administratif adalah :
-
Penetapan
pembatalan perjanjian.
-
Perintah
untuk menghentikan integrasi vertical.
-
Perintah
untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menyebabkan praktik monopoli dan
anti-persaingan atau merugikan masyarakat.
-
Perintah
untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan.
-
Penetapan
pembatalan penggabungan / peleburan
badan usaha/ pengambilalihan saham.
-
Penetapan
pembayaran ganti rugi.
-
Pengenaan
denda dari 1 milyar s/d 25 milyar rupiah.
-
Sekalipun
hanya berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif, kewenangan KPPU itu
bersinggungan dengan semua pasal dalam UU No.5/1999. Artinya semua pelanggaran
terhadap UU tersebut dapat dijatuhkan sanksi tindakan administratif.
Contoh kasus
: KPPU vs Carrefour
KPPU melayangkan gugatan kepada raksasa bisnis yang
merupakan perusahaan ritel 5 besar dunia yaitu Carrefour. Mencuatnya kasus Carrefour
ini tepat disaat memasuki 10 tahun keberadaan UU No.5/1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Namun dalam kurun waktu 10
tahun itu pula citra KPPU sempat tercoreng ketika seorang komisionernya
tertangkap tangan menerima suap dari salah satu perusahaan yang terlibat
perkara.
Pada pertengahan 2008 lalu citra KPPU sempat tercoreng
akibat kasus dugaan suap yang menimpa salah satu mantan komisioner M. Iqbal
yang pada saat itu menjabat sebagai ketua KPPU menangani perkara hak siar Liga
Inggris oleh Astro All Asia Network Plc. Salah satu amar dalam putusan tersebut
adalah memerintahkan perusahaan afiliasi Astro ( All Asia Multimedia Network –
AAMN ) untuk tetap mempertahankan kelangsungan hubungan usaha dengan PT Direct
Vision, anak perusahaan PT. Ayunda Prima Mitra. Ayunda sendiri merupakan anak
usaha dari First Media yang dimiliki oleh Group Lippo. Belakangan diketahui
bahwa M Iqbal menerima suap sebesar Rp 500 juta dari Presiden Direktur First
Media Billy Sundor. Hal itu akhirnya menorehkan malu di muka lembaga tersebut
ditengah upaya penegakkan persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
Pada awal 2008 KPPU juga sempat berhadapan dengan
salah satu raksasa Telekomunikasi Asia, Temasek. Hal itu bermula ketika pada Desember
2007 KPPU memutuskan Temasek Holding melanggar UU No.5/1999 tentang persaingan
usaha karena terbukti memiliki kepemilikan
silang (cross ownership) dengan operator lain di Indonesia. Kasus itupun
berlanjut dengan gugatan balik oleh Temasek.
Kasus yang dimunculkan KPPU kali ini adalah mengenai
dugaan monopoli dalam memungut harga sewa ruang yang berlebihan dan proses
akuisisi terhadap alfa. Dalam perkara tersebut Carrefour melanggar dua pasal
dalam UU No.5/1999 yakni pasal 17 tentang monopoli dan pasal 25 tentang domisi
dominan. Terkait dengan kepemilikan saham pada PT. Alfa Retalindo Tbk, Carrefour
berpotensi untuk melanggar pasal 28 UU No.5/1999 yang mengatur mengenai proses
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Diawali pada sekitar pertengahan
2008 lalu Carrefour membeli 75% saham alfa, sementara 20% nya masih dikuasai
oleh PT. Sigmantara Alfindo yang merupakan pemegang saham terbesar kedua Alfa
yang akan melepas sahamnya pada tahun 2011 kepada Carrefour. Hal inilah yang
akan berpotensi melanggar pasal 28 tersebut.
Dugaan lainnya yang dilayangkan KPPU kepada Carrefour adalah
mengenai tindakan monopoli dalam memungut harga sewa ruang yang berlebihan
serta biaya trading term (syarat perdagangan) yang memberatkan. Hal tersebut
juga terkait dengan tudingan bahwa Carrefour memiliki posisi dominan dengan
pangsa pasar melibihi 66%. Dalam mendefinisikan pangsa pasar tersebut Carrefour
berbeda pendapat dan bersikukuh (berdasarkan riset Nielsen) hanya memiliki
pangsa pasar retail modern sebesar 17% dan pangsa pasar grosir sebesar 6,3%. Posisi
dominan tersebut memungkinkan Carrefour untuk memonopoli penetapan harga sewa
ruang, penentuan besaran potongan harga tetap (fixed rebate), potongan harga
khusus (conditional rebate), dan biaya pendaftaran barang (listing fee). Praktik
Carrefour ini merugikan pemasok, seperti yang dinyatakan oleh Asosiasi Pemasok
Pasar Modern (AP3MI).
Disini terjadi perbedaan penafsiran mengenai pasar
yang dimaksud dan metode yang digunakan dalam menetapkan harga pasar tersebut.
KPPU menggunakan dua acuan yakni pasar hulu (upstream) atau pasar pemasok dan
pasar hilir (downstream) atau pasar konsumen. Yang dipersoalkan KPPU adalah adalah
pasar pemasok. Berdasarkan metode tersebut diketahui bahwa konsentrasi pasar
pemasok KPPU melonjak setelah menguasai alfa, dari 44,74% menjadi 66,73%.
0 Response to "Hukum Monopoli dan Persaingan Usaha"
Post a Comment