Latar Belakang
Siapapun yang mencoba melakukan analisis sosiologi
tentang korupsi, niscaya akhirnya akan dihadapkan pada suatu problem
metodologis. Metode-metode penelitian sosial yang diakui dan pada umum
diterapkan seperti wawancara, daftar pertanyaan, dan analisa statistik tidaklah
bisa diterapkan disini sepanjang korupsi korupsi dipandang sebagai transaksi
yang tidak jujur. Apa yang paling bisa dilakukan oleh seorang ahli sosiologi
adalah mengamati fenomena itu beserta efek-efeknya dan mengumpulkan sebanyak
mungkin keterangan-keterangan rahasia. Bahkan pengungkapan korupsi secara umum,
seperti yang bisa mengantarkan keruntuhan suatu rezim, tidaklah menyingkap
sebanyak yang seharusnya disingkap.
Sosiolog yang mempelajari fenomena
korupsi haruslah betul-betul mengenal sejarah, kebudayaan, bahasa, dan hal-hal
dari paling tidak satu misal yang kompleks dan kaya yang memungkinkannya untuk
mengembangkan data dan menguji hipotesa-hipotesanya. Tanpa pengetahuan latar
belakang itu, hampir tidak mungkin untuk mengajukan pandangan yang bermanfaat
diluar apa yang sudah diketahui umum. Demikian pula, tanpa suatu pengamatan
lama yang terus-menerus atas fenomena itu, hampir tidak mungkin untuk mengkaji
validitas generalisasi tertentu tentang makna dan fungsi korupsi.
Definisi Korupsi Menurut KBBI
Korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi
atau orang lain.
Definisi Korupsi Menurut Para Ahli
-
Syed Hussein Alatas, “Inti korupsi adalah
penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi”. Syed Hussein Atalas
mengatakan bahwa terdapat tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi,
yaitu Penyuapan (Bribery), Pemerasan (Extortion), dan nepotisme. Ketiga hal ini
tidaklah sama tetapi ada benang merah yang menghubungkan ketiga tipe tersebut,
yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik dibawah tujuan-tujuan pribadi
dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahtraan, yang dibarengi dengan
keserbarahasiaan, penghianatan, penipuan dan pengabaian yang kejam atas setiap
konsekwensi yang diderita publik.
-
Robert C. Brooks, rumusan korupsi yang dikemukakan
Brooks adalah “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang
diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan
memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi”.
-
Transparency International, “Korupsi adalah mencangkup
prilaku dari pejabat-pejabat disektor publik, apakah politikus atau pegawai
negri, dimana mereka secara tidak benar dan melanggar hukum memperkaya diri
sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalah gunakan
kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka”.
Makna Korupsi
Antara studi-studi terdahulu dan sekarang tentang korupsi
di asia, tidak dijumpai adanya kesinambungan perkembangan teori dan analisa.
Lebih-lebih lagi, sosiologi korupsi pada umumnya relatif memperoleh perhatian
sedikit saja dari para ahli ilmu sosial.
Dalam sebagian contoh, banyak karya tentang korupsi tidak
mencoba melakukan analisa konseptual maupun kausal. Tidak juga mereka mencoba
mengklarifikasikan tipe-tipe dan derajat korupsi. Sebelum kita melanjutkan
pembicaraan lebih jauh, kita harus menjelaskan istilah korupsi. “Menurut
pemakaian umum istilah ‘korupsi’ pejabat, kita menyebut korup apabila seorang
pegawai negri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan
maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa pada
kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian
seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep itu.
Pemerasan, yakni permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam
pelaksanaan tugas-tugas publik, juga bisa dipandang sebagai ‘korupsi’.
Sesungguhnyalah, istilah itu terdakang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang
menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan
kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang harus
dibayar oleh publik”.
Fenomena lain yang bisa dipandang sebagai korupsi adalah
pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau rekan-rekan politik pada jabatan-jabatan
publik tanpa memandang jasa mereka maupun kosekuensinya pada kesejahtraan
publik. Kita menyebut ini neppotisme.
Ciri-ciri korupsi
Syed Hussein Alatas dalam
bukunya “Sosiologi Korupsi (sebuah
penjelajahan dengan data kontemporer)”, menuliskan ciri-ciri korupsi adalah
sebagai berikut :
(a) Korupsi
senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
(b) Korupsi
pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali dimana ia telah begitu
merajalela dan begitu dalam berurat-berakar sehingga individu-individu yang
berkuasa atau mereka yang berada dalam lindungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatan mereka. Namun sekalipun demikian, motif korupsi tetap
dijaga kerahasiaannya;
(c) Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban atau
keuntungan itu tidaklah senantiasa berupa uang;
(d) Mereka yang
mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;
(e) Mereka yang
terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas
dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;
(f) Setiap
tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum;
(g) Setiap
bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan;
(h) Setiap bentuk
korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan
tindakan itu;
(i) Suatu
perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat. Didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan
umum dibawah kepentingan khusus.
Peran dan
Efek-efek korupsi dalam negri-negri terbelakang asia dan afrika
Penggambaran
korupsi tidaklah dimaksudkan untuk memberikan penilaian. Istilah-istilah
seperti “penghianatan”, “penipuan” dan “pelanggaran hukum” digunakan sebagai
pengertian netral, tanpa menghukumi apakah perbuatan seperti itu baik ataukah
buruk dipandang oleh masyarakat yang bersangkutan.
Pada
umumnya diakui bahwa korupsi adalah problem (masalah) yang berusia tua dari
semua masyarakat manusia, kecuali yang sangat primitif dengan derajat yang
berbeda-beda, yang terjangkit oleh korupsi. Dengan tepat sudah dinyatakan bahwa
kelangsungan dan perkembangan suatu tatanan politik, sosial, kultural ataupun
ekonomi tidaklah perlu harus tersia-sia atau dihalangi oleh kejangkitan korupsi
belaka. Beberapa pengamat melangkah lebih jauh dan mengakui bahwa dalam
beberapa contoh korupsi telah membantu meningkatkan perkembangan ekonomi dan
efisiensi.
Sekarang
dalam negara-negara yang sedang berkembang, korupsi birokrasi juga dipandang
merajalela, atau sedekat berlangsung (seperti) berupa pemberian-pemberian
tradisional pada mereka yang menduduki jabatan atau memegang kekuasaan
tertentu. Dalam beberapa kawasan, kelambatan dalam penyesuaian administrasi dan
langgengnya pandangan-pandangan lama (terdahulu) telah memperparah problem
korupsi itu. Substruktur birokrasi patrimonial masih mempengaruhi bagian lain
masyarakat, sementara ikatan-ikatan keluarga tradisional terus berbenturan
dengan konsep-konsep moralitas modern tentang masalah-masalah publik. Bahkan
sampai tahun 1957 dalam beberapa kantor pemerintahan
di Sumatra barat bisa diamati adanya satu kantor tertentu yang semua pegawainya
merupakan anggota dari satu kelompok keluarga yang sama; yakni keluarga kepala
kantor.
Dan
sementara pemberian hadiah yang tradisional bisa dibedakan dari suapan uang,
adalah jelas sekali bahwa dari sudut pandang si pemberi seseorang telah
berlindung pada orang lain, sehingga meskipun praktik itu telah memiliki makna
baru.
Fungsi Korupsi
Secara
teoritis (rumusan Syed Hussein Alatas), “Tidak semua perbuatan yang
menguntungkan pejabat di atas harga kerugian rakyat adalah perbuatan korup,
jika tidak begitu niscaya istilah itu akan mencakup juga semua penarikan pajak
oleh suatu monarki absolut untuk menyediakan kemewahan yang sudah biasa dalam
keluarga istananya, semua ongkos dan pembayaran yang dibayarkan oleh
budak-budak tani pada tuan-tuan tanah mereka, semua pengorbanan dan pemberian
yang dihunjukkan pada kelas pendeta dalam teokrasi. Perbuatan-perbuatan yang
memang illegal dan menguntungkan para pejabat adalah jelas korup. Akan tetapi
baik pertanyaan tentang legalita formal maupun pertanyaan tentang kesabaran
massa penduduk bukanlah pertanyaan esensi tentang konsep itu. Dimana waku itu moralita
pendapat dan politik yang terbaik, yang menilai maksud dan kerangka perbuatan,
memandang suatu perbuatan sebagai pengorbanan publik untuk kepentingan pribadi,
ia harus dipandang korup”.
Syed
Hussein Alatas mengutip kesimpulan tentang makna korupsi, “kerugian yang
disebabkan oleh korupsi jauh melampaui jumlah keuntungan individual yang
berasal dari padanya, karena uang sogok ternyata merusak sistem ekonomi
keseluruhan. Keputusan-keputusan penting diambil dengan motif-motif yang
tersembunyi dan anti sosial tanpa memandang akibat-akibatnya pada masyarakat”.
Secara garis besar kita bisa
membedakan korupsi kedalam tiga tahap berikut :
1. Tahap
dimana korupsi relatif terbatas, tanpa mempengaruhi wilayah kehidupan sosial
yang luas.
2. Tahap kedua
adalah tahap dimana korupsi telah merajalela dan menembus segala kehidupan.
3. Tahap
ketiga dari korupsi adalah apabila korupsi menjadi membinasakan diri sendiri
yang menghancurkan bangunan masyarakat.
Diinyatakan
juga bahwa korupsi bisa berlaku sebagai suatu pagar melawan kebijaksanaan yang
buruk. Bahkan bila pemerintah suatu negri yang sedang berkembang dengan aktif
dan cerdik meningkatkan pertumbuhan, tidak ada jaminan bahwa untuk mencapai
tujuannya kebijaksanaannya akan dipahami dengan baik. Akibatnya, ia bisa
mengambil langkah yang kuat dalam arah yang salah. Korupsi bisa mengurangi
kerugian dari kekeliruan-kekeliruan seperti itu, karena sementara pemerintah
menjalankan suatu kebijakan, para wiraswasta dengan sabotase mereka menjalankan
kebijakan lainya. Sebagaimana semua asuransi ini memerlukan biaya apabila
kebijaksanaan pemerintah memang benar.
Banyak
negri-negri di asia dan afrika mempunyai pengalaman-pengalaman dalam hal meramu
korupsi, ketidak efisien-an, dan buruknya perencanaan. Sejauh pembangunan
nasional diperhatikan, perbaikan-perbaikan terjadi di antara semua kemerosotan
ini. Menyarankan pembolehan atau perangsangan korupsi akan merintangi
pembangunan. Namun korupsi yang tidak terhindarkan bisa jadi berada dalam
konteks perbuatan tertentu. Kebutuhan untuk mengatasi rintangan-rintangan
biroktasi dan sejumlah besar peraturan sejenis yang dicatat oleh Weiner,
tidaklah menyatakan adanya fungsi
positif korupsi. Ia haruslah dilihat sebagai perluasan korupsi karena untuk
luas tertentu, korupsi membantu peningkatan aturan dan penundaan secara
besar-besaran, serta proyek mercusuar yang akan menguntungkan para pemenang
kekuasaan yang korup. Kita juga harus mengingat bahwa ketidak mempuan suatu
administrasi untuk berlaku dengan efisien, jumlah tata aturan yang meningkat, sebagian
turut disebabkan oleh korupsi. Sementara kelambanan administrasi dalam
pelaksanaan sebaliknya juga turut menyebabkan korupsi yang disebutkan dalam
contoh-contoh Weiner dan yang lainnya.
Dalam
banyak negri yang sedang berkembang, kita bisa memperhatikan kejadian yang
bersamaan dari tiga kecenderungan yakni perluasan kepegawaian sipil,
peningkatan tata aturan, dan kemerosotan pendapatan cadangan. Ketiga-tiganya
pada tingkat tertentu bisa ditentukan oleh kebutuhan untuk melaksanakan
proyek-proyek pembangunan. Akan tetapi sudah pada tahap-tahap permulaan bahkan
sebelum proyek-proyek itu dinyatakan dan disetujui, korupsi sudah menjalar
dalam bentuk yang mempengaruhi pendapatan, dengan atau tidak berlipat-gandanya
aturan-aturan. Dari sudut manapun kita melihatnya, ia tidaklah ikut memberi
sumbangan positif bagi pembangunan, karena sebagian dana pemerintah terus
menerus dikuras untuk tujuan-tujuan negatif. Dalam uraian terakhir, fungsi
korupsi bisa dibandingkan dengan suatu penyakit; (yang) bila dikendalikan
dengan baik (akan berdampak) kurang berbahaya, bila tidak justru (akan)
mematikan.
Sebab-sebab Korupsi
Korupsi terjadi disebabkan
oleh faktor-faktor berikut:
(a) Ketiadaan
atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan
ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi;
(b) Kelemahan
pengajaran-pengajaran agama dan etika;
(c) Kolonialisme;
(d) Kurangnya
pendidikan;
(e) Kemiskinan;
(f) Tiadanya
tindakan hukum yang keras;
(g) Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk prilaku anti-korupsi;
(h) Struktur pemerintahan;
(i) Perubahan
radikal;
(j) Keadaan
masyarakat.
Suatu
pengutaraan bentuk-bentuk korupsi menunjukkan bahwa korupsi sebagaimana halnya
tanaman parasit, akan menjalar memenuhi setiap lingkungan yang cocok yang
menyediakan kebutuhan-kebutuhannya, dan yang paling jelas kebiasaan pemberian
hadiah adalah di antara lingkungan-lingkungan yang memungkinkan. Pemberian
hadiah merupakan suatu penyebab tidak langsung yang utama dalam pertumbuhan
korupsi di kawasan-kawasan sedang berkembang. Pemberian hadiah merupakan
kebiasaan umum, bahwasanya tidak ada hubungan kausal yang berarti antara
pemberian hadiah dan (dengan) korupsi. Tampak bahwa pemberian hadiah adalah
bagian dari administrasi kolonial, tetapi fenomena itu punya perbedaan yang
tajam dari korupsi;
(a) Ia tidak harus
bersifat rahasia;
(b) Ia bukan
suatu pelanggaran tugas atau hak-hak publik;
(c) Ia
merupakan bentuk pendapatan dimana pemerintah memperoleh keuntungan;
(d) Ia
tidak(lah) merupakan penggelapan dana-dana pemerintah ataupun pemerasan publik.
Tidaklah
sulit untuk membayangkan bagaimana korupsi menjalar, akan tetapi kita harus
mengkaji makna kebiasaan pemberian (hadiah) sebagai suatu sumber
kesewenang-wenangan dalam jaringan kausal korupsi mengingat fakta bahwa banyak
praktik-praktik lain yang disetujui oleh masyarakat yang telah dijangkiti oleh
korupsi. Dalam suatu masyarakat yang didominir oleh suatu rezim yang korup,
setiap pranata tradisional yang bisa disalah-gunakan niscaya akan diserbu oleh
korupsi, terutama oleh tipe pemerasan (extortion).
Faktor yang
paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan inntelektual
para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual para pemimpin menjadi
menentukan dan penting dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Disini,
yang penting bagi kita adalah menentukan pola hubungan antara berbagai faktor
yang mongkondisikan korupsi, dan mendapatkan posisi dan fungsi kepemimpinan
kedalam pola itu.
Menilik pengaruh pemerintah
terhadap tersebarnya korupsi, faktor-faktor berikut jelas membantu:
(a) Tatkala
pemerintah membiarkan kontak-kontrak besar berisi syarat-syarat yang bisa
menguntungkan para kontraktor;
(b) Tatkala
pemerintah memungut pajak yang sangat besar dan karena itu menawarkan godaan
suapan sebagai imbalan pengurangan pajak;
(c) Tatkala ia
menetapkan tarif untuk industri tertentu seperti kereta api, listrik, dan gas,
juga sejumlah besar harga-harga komoditi, hal ini mendorong
perusahaan-perusahaan yang dominan mencoba mengendalikan tarif dan harga;
(d) Tatkala
pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih siapa yang boleh mamasuki suatu industri;
(e) Tatkala ia
memberikan pinjaman atau pembebasan pajak untuk pabrik atau peralatan selama
jangka pendek;
(f) Tatkala ia
memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah;
(g) Tatkala
subsidi pemerintah dibayar, baik secara terbuka maupun diam-diam.
Pencegahan Korupsi
Kita bisa mencatat
kondisi-kondisi berikut yang menjinakkan korupsi, sekalipun tidak bisa
memberantasnya:
(a) Suatu
keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual dalam tugas
kemajuan nasional dari publik maupun birokrasi;
(b) Administrasi
yang efisien dan penyesuaian struktural yang (lebih) layak dari mesin dan
aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi;
(c) Kondisi-kondisi
sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
(d) Berfungsinya
suatu sistem nilai yang anti korupsi;
(e) Kepemimpinan
kelompok yang berpengaruh dengan standar-standar moral dan intelektual yang
tinggi;
(f) Publik yang
terdidik dengan inteligensia yang cukup untuk menilai dan mengikuti tingkah
laku peristiwa.
Pelopor-pelopor
penentang korupsi adalah orang-orang yang dijiwai dengan idealisme, keberanian,
kebencian yang dalam pada ketidak-adilan, suatu sikap yang kritis terhadap
tatanan yang ada, optimisme pada keberhasilan, dan keyakinan pada kemampuan
penalaran dan keadilan. Perubahan dalam konteks sejarah dan sosiologis yang
memperkecil korupsi dapat diterjemahkan kedalam suatu kekuatan yang hidup hanya
apabila terdapat individu-individu yang efektif dan berpengaruh untuk bertindak
sebagai agen-agen katalisator. Lantaran lagkanya kelompok demikian, korupsi
jelas akan berkembang dengan subur. Bagaimana menjamin persediaan yang mantap
dari individu-individu ini untuk masyarakat dan untuk memberikan fasilitas bagi
munculnya mereka pada posisi-posisi vital senantiasa merupakan suatu problem
vital. Studi-studi sosiologis dan politik tentang kepemimpinan, meskipun
memberikan buah dalam aspek-aspek lain tidaklah cukup menyelidiki wilayah
korupsi didalam kelompok-kelompok yang memerintah.
Individu-individu
yang di ilhami dengan motif-motif kejujuran akan sangat berbeda bagi suatu
negri bila sejumlah kecil individu yang berani, efisien, dan jujur menduduki
posisi-posisi kekuasaan. Khususnya bila negri itu berada dalam situasi yang
rawan diambang korupsi besar-besaran, dan bila suatu pendapat umum yang kuat,
nyata dan agresif melawan korupsi belum terkristalisir.
0 Response to "Sosiologi Mengenai Korupsi"
Post a Comment